Wakil Ketua KPK Sebut Ada Pihak yang Bocorkan OTT, Pelaku Sulit Diungkap

JAKARTA, AspirasiHukum – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebutkan, ada dugaan kebocoran informasi yang mengakibatkan operasi tangkap tangan (OTT) gagal. Alex mengungkapkan, KPK telah menyadap begitu banyak nomor telepon. Jumlahnya bahkan tidak kurang jika dibanding dengan penyadapan di periode-periode sebelumnya.

Alex mengakui, kebocoran informasi rahasia di KPK itu menjadi persoalan yang sampai sekarang belum juga teratasi. Menurutnya, kebocoran informasi semacam itu sudah terjadi sejak periode kepemimpinan 2015-2019. Namun, pelakunya belum juga terungkap. “Itu pun terjadi di periode pertama saya dan sampai sekarang itu juga belum teratasi dengan baik siapa yang membocorkan kalau kita akan melakukan OTT-OTT dan lain sebagainya,” ujar Alex.

Kasus kebocoran informasi rahasia itu berimbas pada jumlah OTT yang menjadi semakin sedikit, meskipun penanganan perkara secara umum tidak kalah banyak dibanding periode sebelumnya.

“Untuk memperbaiki dan bagaimana manajemen penanganan perkara karena ini menjadi perhatian masyarakat,” tutur Alex. Sebagai informasi, dalam beberapa waktu belakangan KPK disebut jarang menggelar OTT. Kasus terakhir yang diungkap dengan OTT adalah penangkapan Gubernur Maluku Utara (Malut) Abdul Ghani Kasuba pada 18 Desember 2023 dan kasus pemotongan insentif PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo pada 25 Januari 2024.


Pandangan Ahli: Ini Hukuman yang Lebih Efektif untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Aspirasihukum. Id. JAKARTA-Tindak pidana korupsi merupakan masalah serius yang masih kerap terjadi di Indonesia. Banyak pelaku korupsi yang hanya dihukum dengan kurungan penjara, namun hal ini ternyata tidak cukup efektif untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang lebih lanjut. Lalu, apa hukuman yang lebih efektif untuk pelaku tindak pidana korupsi?


Menurut para ahli, hukuman yang lebih efektif untuk pelaku tindak pidana korupsi adalah hukuman yang memberikan efek jera. Hukuman tersebut tidak hanya memberikan sanksi pidana, tetapi juga sanksi tambahan yang dirasakan secara finansial, seperti denda dan pengembalian kerugian negara.

Salah satu tim ahli hukum penyuluhan integritas KPK Yody Tistanto, SH, MH, mengatakan bahwa hukuman pidana saja tidak cukup efektif untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Pelaku korupsi yang hanya dijatuhi hukuman penjara biasanya tidak merasa terlalu terganggu karena masih bisa hidup layak dan menikmati harta yang telah dikorupsi.

Oleh karena itu, hukuman yang lebih efektif harus memberikan sanksi finansial yang signifikan kepada pelaku korupsi. Dalam hal ini, Yody menyarankan adanya pengembalian kerugian negara yang dikorupsi oleh pelaku. Hal ini akan memberikan efek jera dan menunjukkan bahwa tindakan korupsi tidak hanya berdampak pada diri pelaku, tetapi juga pada kita yang menjadi korban dari tindakan korupsi tersebut.

Selain itu, Yody juga menyarankan adanya pemberian denda yang cukup besar kepada pelaku korupsi. Hal ini bertujuan untuk memperberat beban finansial bagi pelaku korupsi dan memberikan efek jera yang lebih kuat.

Korupsi yang terjadi secara sistemik harus dihukum secara tegas dan harus bisa menjadi peringatan bagi yang lain untuk menghindari normalisasi dan menghindari rasionalisasi dalam diri setiap orang.

Selain itu, Yody juga menyarankan agar hukuman yang tegas bagi pelaku, diimbangi dengan apresiasi bagi orang-orang yang menjalankan tanggung jawab mereka sebagai bentuk promosi dan model percontohan bagi yang lain.

Penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif akan menunjukkan bahwa negara serius dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Dalam kesimpulannya, pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum dengan sanksi yang lebih efektif, yaitu sanksi pidana dan sanksi finansial. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan transparan juga harus dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan adanya hukuman yang lebih efektif, diharapkan tindak pidana korupsi dapat dicegah dan kita dapat hidup dengan lebih adil dan sejahtera. (Red/AH)

Upaya Intensif KPK dalam Menguatkan Integritas dan Meritokrasi ASN melalui SPI dan Apresiasi 10 UPG Terbaik

Jakarta, 29 Februari 2024 – Dalam rangkaian upaya terus-menerus untuk meningkatkan integritas dan mengurangi risiko korupsi di sektor pemerintah, KPK melalui Direktorat Gratifikasi dan Pengelolaan Pelayanan Publik (DGPP) telah mengambil langkah-langkah signifikan.

Dalam acara Gratifikasi Talk yang dihadiri oleh berbagai Unit Pengelola Gratifikasi (UPG) dari Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan masyarakat umum baik secara daring maupun luring, DGPP menegaskan pentingnya partisipasi aktif dalam mengendalikan gratifikasi dan membangun sistem kontrol lingkungan melalui penilaian risiko. Acara ini juga menjadi kesempatan untuk memberikan penghargaan kepada 10 UPG instansi dengan hasil monitoring dan evaluasi Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) terbaik di tahun 2023, sebuah inisiatif yang menunjukkan apresiasi atas usaha-usaha pengendalian gratifikasi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) telah memberikan gambaran risiko korupsi di Indonesia, diwakili oleh Indeks Integritas Nasional (IIN) yang pada tahun 2023 berada pada angka 70.97, menunjukkan kategori “Rentan” dan penurunan dari tahun sebelumnya. SPI ini menjadi katalis penting dalam mengidentifikasi area perbaikan dan peningkatan integritas di berbagai instansi.

KemenPANRB, dalam tanggapannya, menyoroti perlunya perubahan paradigma dalam manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan penekanan pada pentingnya proses meritokrasi dalam rekrutmen dan pengembangan karir ASN, serta netralitas ASN dalam pelayanan publik dan pengambilan kebijakan. KemenPANRB juga mengungkapkan bahwa aspek pengembangan karir dan promosi/mutasi memiliki tingkat ketercapaian terendah dalam sistem merit, menunjukkan perlunya penguatan dalam sistem karir dan pengawasan yang lebih ketat.

Selain itu, DGPP memberikan penghargaan kepada 10 UPG instansi dengan nilai Rapor Monitoring dan Evaluasi (Monev) 2023 terbaik. Instansi yang mendapatkan penghargaan antara lain PT Pegadaian, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Pemkot Denpasar, Bank BJB, Kementerian Keuangan, PT ASABRI, OJK, Bank Mandiri, dan BPJS Ketenagakerjaan. Penghargaan ini diharapkan menjadi motivasi bagi instansi lain untuk meningkatkan upaya mereka dalam pengendalian gratifikasi.

Sesi berbagi yang diadakan memberikan wawasan tentang berbagai strategi yang diterapkan oleh UPG dalam menangani gratifikasi. Beberapa inisiatif yang menonjol termasuk pengembangan program Penyuluh Antikorupsi di BPJS Ketenagakerjaan, penerapan standar ISO 37001:2016 oleh OJK, dan pakta integritas serta Code of Conduct di Bank Mandiri. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan komitmen kuat terhadap transparansi dan integritas di sektor pemerintahan.

GTALK 2024, yang diadakan dengan tema “Gratifikasi dalam Jual Beli Jabatan”, berhasil menarik ribuan peserta, mencerminkan minat yang besar dari masyarakat umum dan UPG dalam isu ini. Forum ini tidak hanya menjadi platform untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tetapi juga untuk merumuskan strategi dalam memerangi korupsi dan mempromosikan meritokrasi di sektor pemerintahan.Kegiatan ini menunjukkan upaya serius Indonesia dalam memerangi korupsi dan memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih. Melalui apresiasi terhadap UPG terbaik dan diskusi yang mendalam di GTALK, KPK berkomitmen untuk terus meningkatkan integritas dan mengurangi risiko gratifikasi di sektor pemerintahan. Inisiatif seperti ini diharapkan dapat membawa perubahan positif dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Salam Antikorupsi,

Apa Bedanya gratifikasi, suap dan pungli? Ini Penjelasannya

Dalam konteks kegiatan pelayanan publik, seringkali terjadi perbuatan yang melanggar hukum, seperti pemerasan, suap, dan gratifikasi. Ketiganya merupakan tindakan yang merugikan kita serta dapat merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Sejauh mana nih pemahaman Sahabat JAGA tentang pemerasan, suap dan gratifikasi?.

Pertama, pemerasan terjadi ketika petugas layanan secara aktif meminta imbalan kepada pengguna layanan dengan beragam maksud seperti untuk membantu mempercepat tercapainya tujuan si pengguna jasa, walau melanggar prosedur.Dalam kasus yang lebih berat, biasa ditemui pemerasan yang disertai dengan tekanan atau ancaman oleh petugas layanan.

Kedua, suap terjadi ketika pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar tujuannya lebih cepat tercapai, walau melanggar prosedur. Suap dapat terjadi ketika seseorang membutuhkan suatu jasa publik yang seharusnya dapat diberikan secara gratis atau dengan biaya yang terjangkau, namun ditawarkan imbalan oleh pengguna jasa untuk mempercepat proses pemberian jasa tersebut.

Ketiga, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Perbedaan utama antara gratifikasi dengan pemerasan dan suap adalah adanya transaksi di antara kedua belah pihak, sedangkan dalam kasus gratifikasi tidak ada. Praktik gratifikasi sering kali tidak disadari oleh pemberi, karena pemberian biasanya tanpa didasarkan maksud tertentu. Istilah ini dapat disebut dengan “tanam budi” oleh pengguna jasa kepada pemberi layanan. Namun, pemberian tersebut dikhawatirkan dapat memengaruhi petugas layanan di masa depan, oleh sebab itu gratifikasi dikenal sebagai suap yang tertunda.

KPK sebagai lembaga yang mengatur pengendalian gratifikasi di lingkup pemerintahan tidak mengharuskan pelaporan tiap gratifikasi yang diterima, pengecualian pelaporan gratifikasi dapat dilihat pada Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi Pasal 2 ayat (3).

Dalam kesimpulannya, pemerasan, suap, dan gratifikasi adalah perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan kita serta negara. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara ketiganya dan tidak terlibat dalam tindakan yang merugikan negara dan masyarakat.

Revisi UU Desa Disepakati, Masa Jabatan Kades Jadi 8 Tahun

Jakarta, Aspirasihukum – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, telah melakukan rapat bersama Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengenai revisi Undang-undang (UU) Desa.


Dari rapat tersebut, disepakati masa jabatan kepala desa (kades) diperpanjang menjadi 8 tahun dengan maksimal jabatan selama dua periode. Rapat mengenai revisi UU Desa ini dilaksanakan pada Senin (5/2/2024) malam di mana rapat pleno mendengarkan pandangan tiap fraksi terkait hal ini.


Hal ini diambil setelah massa Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) melakukan demonstrasi di depan gedung DPR menuntut revisi pada UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Tito juga menjelaskan bahwa perubahan ini merupakan titik tengah antara keinginan pengunjuk rasa dan rekomendasi dari pemerintah.


Akan tetapi, meskipun ada kesepakatan dari DPR dan pemerintah, revisi UU Desa belum disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Ketua DPR, Puan Maharani mengatakan bahwa masih diperlukan proses persetujuan tingkat II antara DPR dan pemerintah.


Catatan
Berdasarkan Undang-undang Indonesia, saat ini masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun selama 3 periode baik secara berturut-turut ataupun tidak. Hal ini tercantum dalam Pasal 39 UU Desa.

APA ITU GRATIFIKASI?

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Dasar hukum gratifikasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian mengalami perubahan dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 12B ayat (1) UU No. 20/2001 menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

MENGENAI RUU PERAMPASAN ASET

RUU Perampasan Aset adalah rancangan undang-undang yang bertujuan untuk merampas aset yang diperoleh dari hasil kejahatan (proceed of crime) dan aset-aset lain yang tidak sesuai dengan penghasilan atau sumber pendapatan yang sah. RUU ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan ekonomi, termasuk koruptor. Dasar hukum RUU Perampasan Aset adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. KPK mendukung penuh keberadaan RUU Perampasan Aset bagi koruptor dan menganggap RUU ini sangat penting dalam proses penegakan hukum terhadap perolehan hasil kejahatan.


RUU Perampasan Aset Tindak Pidana mengatur beberapa jenis aset yang dapat dirampas. Menurut Pasal 5 ayat (2) RUU tersebut, aset yang dapat dirampas meliputi:
• Aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana.
• Aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana.
• Aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
• Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang sah.
• Aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana.
• Aset lain yang sah milik, namun digunakan untuk melakukan tindak pidana.


RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan ekonomi, termasuk koruptor.

APA ITU PRAPERADILAN?

Praperadilan adalah tindakan atau usaha yang diberikan oleh lembaga Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain, dan sah atau tidaknya penyitaan barang bukti. Dasar hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Praperadilan merupakan salah satu mekanisme dalam Hukum Acara Pidana yang berfungsi untuk melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik. Praperadilan juga dapat dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap pihak kejaksaan dan sebaliknya. Putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

KPK Geledah Kantor Bupati Sidoarjo Usai OTT Pejabat BPPD

Jakarta, Aspirasihukum.com – Tim penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (30/1) telah selesai melaksanakan penggeledahan di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Beberapa lokasi di antaranya adalah Pendopo Delta Wibawa, Kantor Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) dan rumah kediaman pihak terkait lainnya.

“Dari kegiatan ini, ditemukan serta diamankan bukti-bukti antara lain berupa berbagai dokumen dugaan pemotongan dana insentif, barang elektronik,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Rabu (31/1).
Artikel ini telah tayang di halaman gatra.com dengan judul “KPK Geledah Kantor Bupati Sidoarjo Usai OTT Pejabat BPPD”.

Penyidik turut mengamankan sejumlah uang dalam bentuk mata uang asing dan tiga unit kendaraan roda empat.

“Keterkaitan bukti awal ini untuk lebih dulu disita dan dianalisis serta nantinya dikonfirmasi pada para pihak yang segera akan dipanggil sebagai saksi,” jelas Ali.

Sebelumnya, KPK menetapkan dan menahan tersangka Siska Wati selaku Kasubag Umum BPPD Kabupaten Sidoarjo. Penetapan tersangka tersebut hasil perkembangan tangkap targan dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan dan penerimaan uang kepada pegawai negeri di lingkungan BPPD Kabupaten Sidoarjo.
Artikel ini telah tayang di halaman gatra.com dengan judul “KPK Geledah Kantor Bupati Sidoarjo Usai OTT Pejabat BPPD”. (RED/YT)

EKS WAMENKUMHAM EDDY HIARIEJ MENANG DI PRAPERADILAN

Eddy Hiariej, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, terlibat dalam kasus korupsi yang melibatkan dugaan penerimaan suap sebesar Rp 8 miliar dari CEO PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan. Kasus ini bermula dari perselisihan kepemilikan PT Citra Lampia Mandiri pada tahun 2019-2022. Eddy Hiariej diduga memperjual-belikan kekuasaannya untuk memihak salah satu kubu yang bersengketa. Eddy Hiariej telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wamenkumham setelah ditetapkan sebagai tersangka. Baru-baru ini, praperadilan yang diajukan oleh Eddy Hiariej dikabulkan, dan status tersangkanya dinyatakan tidak sah. Kasus ini masih dalam proses hukum.

Terdapat empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang melibatkan Eddy Hiariej. Mereka adalah:
• Eddy Hiariej, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
• Yogi Arie Rukmana, asisten pribadi Eddy Hiariej.
• Yosi Andika Mulyadi, seorang pengacara.
• Helmut Hermawan, CEO PT Citra Lampia Mandiri, yang diduga sebagai pemberi suap.


Mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap sebesar Rp 8 miliar yang terkait dengan perselisihan kepemilikan PT Citra Lampia Mandiri antara tahun 2019 dan 2022.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan serangkaian tindakan dalam mengusut Eddy Hiariej sebagai tersangka korupsi.

Beberapa tindakan yang dilakukan KPK termasuk pemeriksaan terhadap tersangka, penggunaan pasal suap dan gratifikasi dalam mengusut dugaan korupsi, serta peningkatan status kasus dugaan gratifikasi Eddy Hiariej ke tingkat penyidikan. Selain itu, KPK juga menaikkan penanganan laporan dugaan gratifikasi dengan terlapor Eddy Hiariej ke tingkat penyidikan.


Pada 30 Januari 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menerima permohonan praperadilan yang diajukan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej.

Hasil dari praperadilan yang diajukan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej adalah bahwa penetapan status tersangka Eddy oleh KPK dinyatakan tidak sah dan belum cukup bukti.

Dengan demikian, Eddy Hiariej memenangkan gugatan praperadilan tersebut, dan KPK diharapkan untuk melakukan perbaikan dalam tindakan hukumnya. Putusan ini menunjukkan bahwa status tersangka Eddy Hiariej dalam kasus suap dan gratifikasi yang ditangani KPK tidak sah. (Red/Gt)